Dalam konteks suporter sepak bola di Surabaya, setelah kembalinya Persebaya ke kancah sepakbola nasional. Pergerakan dan perlawanan di Surabaya yang tidak pernah putus hingga menyentuh dini hari terjadi pada 10 November 2016 ketika suporter turut andil dalam membuat lumpuh jantung kota. 

Alasannya adalah klub Surabaya yaitu Persebaya tidak jadi dipulihkan haknya untuk berkompetisi pada pembahasan di Kongres Ancol jilid dua. Yang sebelumnya sudah dijanjikan oleh sekjen PSSI di Stadion Tugu bahwa Persebaya akan dibahas di Kongres Ancol, selanjutnya percikan itu yang membuat kobaran perlawanan di Surabaya menggelora.

Akhirnya perjuangan terjadi semakin masif mulai dari spanduk, mural, lagu, parade hingga aksi turun ke jalan menjadi bentuk perlawanan perlawanannya tersendiri di Surabaya, bahkan berkoalisi dengan beberapa kelompok di luar sepak bola dan tokoh politik adalah salah satu cara untuk melawan. 

Dan Bonek adalah salah satu suporter yang melakukan laga tandang tanpa ada pertandingan sepak bola, murni demi memperjuangkan apa yang mereka yakini kembali.

Glorifikasi masa lalu tentang Surabaya yang masyarakatnya memiliki keberanian dan kepahlawanannya ini tidak relate dengan apa yang terjadi saat ini, kenapa Surabaya lebih adem jika dibandingkan dengan kota kota lainnya, berbanding terbalik dengan suhu udaranya kotanya yang dingin akibat terjangan hujan lebat.

Masyarakat Surabaya tidak akan bergerak jika isu yang terjadi tidak mengganggu dirinya secara langsung, kenapa saat memperjuangkan Persebaya bisa sangat besar gelombang perlawanannya karena sebagian besar masyarakat Surabaya adalah pendukung Persebaya. Itu alasan terkuatnya.

Apakah bentuk perlawanan harus terjadi chaos seperti di kota lain jawabannya adalah maybe yes maybe no, kondisional. karena Surabaya punya sisi lainnya untuk melakukan perlawanan.

Surabaya punya gerakannya sendiri yang tumbuh secara organik di masyarakat. Sayang untuk menunggu ledakan perlawanan yang masif oleh suporter di Surabaya masih harus menunggu lebih sabar.

Perlawanan di kelompok suporter tidak tumbuh dalam satu dua hari, mereka tumbuh dan berkembang karena tempaan tempaan literasi dan diskusi di warung-warung kopi sederhana, proses itu yang menjadikan kelompok suporter matang berpikir untuk menentukan sikap politiknya.

Seperti kata Tan malaka terbentur, terbentur, terbentuk!

Bagaimana doktrin sepak bola tidak boleh dicampur adukan dengan politik sudah tertanam di benak suporter Persebaya karena trauma masa silam ketika Persebaya menjadi batu loncatan politikus untuk melanggengkan kekuasaannya.

Salah kaprah soal politik yang seiring berjalannya waktu membuat gerakan politis di Surabaya hanya diisi oleh kelompok mahasiswa dan aktivis ulung saja sangat jarang melibatkan golongan suporter, pemuda, dan masyarakat sipil lainnya.

Gerakan gerakan politik yang dilakukan oleh suporter mungkin baru berjalan sekitar satu dua tahun ini diawali dan dihimpun oleh beberapa kelompok/firm yang aware soal ini. Sebenarnya gerakan perlawanan bisa semakin masif ketika para firm lainnya sepakat berjejaring bersama dan membangun kesadaran kolektif soal isu yang sedang terjadi.

Adu domba horizontal, rivalitas semu turut menghambat perlawanan yang terjadi di Surabaya, kelompok-kelompok besar tidak mau untuk mengambil resiko untuk bersikap terhadap isu yang terjadi, jangankan isu nasional isu yang sedang terjadi di Surabaya pun sangat sulit menyentuh suporter, soal reklamasi  saja yang benar-benar berdampak kepada masyarakat Surabaya saja tidak peduli malah teralihkan oleh isu rasisme. 

Aksi-aksi suporter Persebaya yang melek akan isu yang terjadi akhir akhir ini muncul dari gerakan akar rumput suporter Surabaya sendiri yang dimana mereka tidak terafiliasi dengan kelompok besar tribun manapun.

Bagai pedang bermata dua, satu sisi baik untuk regenerasi namun satu sisi lain menghambat kesadaran politik suporter.

Suporter harus sedikit banyak mengerti akan politik karena di luar sepak bola kita hanya masyarakat sipil biasa yang haknya selalu ditindas para penguasa. 

Mari mulai membangun kesadaran kolektif bersama. Bersama sama melawan. Sudahi konflik horizontal karena mereka yang kita lawan sudah lupa caranya menggunakan peta.

Turunkan sedikit ego rivalitas mari bersama sama melawan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *